Minggu, Oktober 26, 2008

Lambung Luka Diatasi Chitosan

SAYA ini seorang pedagang dan seringkali kecapekan. Agar badan tetap segar, saya suka rninum jamu. Biasanya saya beli diwarung, dengan harga per satu gelasnya Rp. l.000. Paling tidak, dua hari sekali saya minum jamu. Memang, kalau sudah.minum, rasanya enak. 

Kemudian, selama setahun saya juga minum obat bebas dari apotek. Menurut teman-teman saya, obat itu bisa membuat tubuh jadi kuat. Nggak tahunya, lama kelamaan badan saya terasa tidak enak. Sampai-sampai saya tidak bisa jualan. Lalu, saya putuskan untuk istirahat sehari. Setelah enakan, saya minum jamu lagi khususnya untuk asam urat.

Lama-lama, saya merasa ada yang nggak beres di lambung. Rasanya eneg, mual seperti orang ngidam. Padahal, saya kan nggak ada suami, masak ngidam? 

Kemudian, saya coba pakai obat-obatan bebas di warung. Ada sekitar dua bulanan minum obat bebas. Saat waktu bulan Puasa, saya mulai merasakan gangguan di tubuh saya. Begitu buka puasa, saya minum es sirup. Tiba-tiba rasanya menyesak sampai ke dada atas. Saya kira terkena penyakit jantung. Duh, rasanya mau mati pada saat itu.

Waktu itu, anak-anak sedang Tarawih, hingga saya diantar ke rumah sakit oleh tetangga. Saya diopname selama empat hari. Rupanya, dokter pun salah diagnosa, mengira saya kena jantung. Obatnya besar-besar, sekali beli Rp. 400.000-600.000. Empat hari di rumah sakit, saya habis sekitar Rp. 2,4 juta.

Keluar dari sana, saya masuk lagi ke rumah sakit. Tapi, kali ini saya berobat jalan karena tidak ada uang. Saya kemudian dirujuk ke sebuah rumah sakit ternama di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Di sana, sebuah alat lampu dimasukkan ke dalam mulut. Saya tidak boleh meludah, batuk, bahkan gigi dilindungi pakai karet. Biaya itu sekitar Rp.700.000, setelah saya minta keringanan dari biaya semula Rp. 900.000. 

Sebelum dimasukkan alat, saya juga mengisi perjanjian dengan saksi anak saya. Di mana, perjanjian itu berbunyi, Rumah Sakit tak bertanggung jawab bila terjadi sesuatu. Sekitar enam jam, sepulang dari rumah sakit tersebut saya diperiksa dokter pribadi. Ternyata diketahui, lambung saya terluka (lihat hasil rontgen, Red). Seperti koreng, tapi saya pikir kalau sampai bocor bisa mati saya.

Kata dokter, luka itu akibat kebanyakan minum jamu. Mulai saat itu, saya tidak boleh minum jamu dan terus konsultasi. Tapi, penyakitnya makin menjadi jadi. Sakitnya sampai ke bagian belakang tubuh, dan kalau mau buang air besar selalu keluar keringat dingin. Saya sudah minum berbagai macam obat-obatan. Sampai pakai suntik jarum, diurut, ditangani dokter spesialis penyakit dalam, dan sebagainya. Tapi nggak sembuh-sembuh. 

Sampai akhirnya, datang Kiki  (Faqih Faurani, member Tianshi); menawarkan anak saya masuk Tianshi. Anak saya kan perawat, sebenarnya dia mau, tapi karena harus ujian akhir nggak jadi. Sementara saya diminta mencoba produknya, juga tak bisa karena tak ada uang. Karena untuk pengobatan selama ini mungkin sudah habis sekitar Rp. 8 juta.

Kiki kemudian menerangkan keunggulan produk Tianshi. Tapi, karena saya nggak punya uang, ya tidak beli. Saya sendiri penasaran. Kiki kemudian memberi dua butir kapsul Chitosan. Rupanya, setelah minum dua butir Chitosan itu, rasa sakitnya sudah tak terasa. 

Akhirnya, saya beli Chitosan. Saya minum sehari empat butir, setiap menjelang shalat subuh dua butir dan mau tidur dua butir. Menurut Kiki, sesuai anjuran dr. Rahmawati, saya disarankan minum enam butir per hari. Tapi, sayang, saya mau irit-irit karena nggak ada dana. Baru tiga hari minum Chitosan, badan rasanya enak sekali. Saya nggak merasa sakit lagi.

Kiki lagi-lagi meminta saya menambah minum Kalsium-1 dan Spirulina. Katanya, ini saran dr Rahmawati. Kalau dihitung-hitung semua Rp. 640.000. Karena nggak punya uang, saya belum beli. Saya sendiri kini sangat percaya, karena produk Tianshi kan dari China. 

Anak saya yang di keperawatan mengatakan, obat China bagus untuk mengatasi penyakit. Dan, saya sudah buktikan. Saya sudah tak merasa sakit di belakang tubuh. Kalau minum Chitosan, rasanya ringan sekali. Secara keseluruhan tubuh saya terasa lebih baik.

Sumber : Majalah AWARD Edisi Kesaksian 2




Tidak ada komentar: